Hegemoni : Kepemimpinan-Moral-Intelektual; Definisi, Metode, dan Praktik
in the generic manipulation of societies of control…
there is no need to ask which is the toughest or most tolerable regime
dalam manipulasi generik dari masyarakat terkontrol…
tidak perlu lagi dipertanyakan, rezim manakah yang paling toleran
(Delueze: Societies of Control)
|
Sebelum masuk ke dalam pengertian hegemoni sebagai modus eksistensi beberapa miskonsepsi atau salah sangka mengenai hegemoni sendiri harus dibenarkan. Pertama mengacu kepada peristilahan Antonio Gramsci tokoh sosialis Italia, pengertian hegemoni sebenarnya adalah praktik dominasi kekuatan pemerintah (state) terhadap publik (people/civic) dengan cara “halus”. Dalam praktek dominasi ini, kelas dominan tidak secara kentara menyusun aturan permainan, memaksa, mengajak atau mengontrol kelas terdominasi. Demikian pula kelas terdominasi yang tanpa sadar (unconciusness) dan tanpa paksa (unforceness) mengikuti permainan tadi. Adalah pengertian yang salah ketika menganggap hegemoni bekerja dengan cara represif saja, apalagi menganggap praktik hegemoni adalah perbuatan yang berkaitan dengan kejahatan belaka.
Antonio Gramsci adalah sosiolog Italia, yang dikenal karena gagasan originalnya tentang praktik kekuasaan dalam ruang publik. Ketika Gramsci aktif dalam gerakan sosialis di tahun 1920-an menentang dominasi raja dan fasisme di Italia, ia banyak menelaah pemikiran dialektika sejarah dari Karl Marx tentang pertentangan kelas tertindas dengan penindas (proletarian-borjuis). Ketika Gramsci dipenjara karena kritiknya terhadap fasisme Mussolini, ia mulai menulis catatan harian ilmiah yang menerangkan bagaimana ramalan dan ide-ide besar Marx tentang revolusi kaum proletar ternyata tidak pernah terjadi. Gramsci menilai bahwa gerakan kaum Marxis pada suatu kondisi mengalah pada kekuatan dominan (borjuis). Penjinakan yang dilakukan kelompok dominan telah berhasil menangguhkan revolusi kelas bawah ini untuk segera meredup bahkan berhenti sama sekali. Ia menyebut praktik-praktik penjinakan tadi sebagai praktik hegemoni.
Telaahnya sebagai seorang ilmuwan sosial tidak sekedar lompatan kesimpulan bahwa revolusi menjadi batal, Gramsci membuat rincian metodologi, fakta-fakta mengenai relasi dan pembagian kekuasaan sosial. Ia sendiri turun berperang dan memberikan pandangan-pandangan ilmiah mengenai konflik-konflik seputar kekuasaaan. Kelak pemikirannya tentang hegemoni inilah yang membawa ilmu-ilmu sosial menjadi lebih kompleks dan menarik.
Menurutnya, hegemoni muncul karena beberapa alasan sederhana. Bagi Gramsci alasan terpenuhinya akses atas ruang material (economic space) dan saluran berpendapat (political space) bagi kelas proletar adalah argumentasi mengapa revolusi kelas yang idamkan Marx tidak tercapai. Kelompok dominan (dominate class) berhasil melakukan tawaran ekonomis terhadap kelompok terdominasi (dominated class) dalam hal ini adalah kelas buruh, dengan memberi subtitusi waktu kerja lebih dengan nilai tambah (added value) dalam bentuk intensif, bonus-bonus, jaminan kesehatan, kredit, dan asuransi. Di sisi politik, kelas dominan memberikan ruang kebebasan berekspresi yang lebih luas, dan waktu untuk berserikat yang lebih luang. Kekuasaan dominan tadi lebih jauh membuka juga kebebasan berpolitik praktis dalam bentuk pendirian serikat-serikat kerja bahkan juga partai bagi kelas bawah (partai buruh).
Dari kenyataan dialog-dialog yang ditawarkan di dalam ruang ekonomi dan politik, Gramsci menemukan jika hegemoni kelompok dominan tidak selalu bekerja dengan cara mereduksi/mengekang keinginan-keinginan beroposisi dari kelompok bawah (grass root) dan penekan (pressure groups), namun juga dapat bersinergi dengan proses represif terhadap kelompok pembangkang (anti status quo). Akomodasi negara (state) dan pengusaha (capital) terhadap kelompok terdominasi ini dilakukan dalam kerangka praktik kekuasaan secara menyeluruh. Dalam hegemoni, proses reduksi dengan kekuatan dilakukan untuk menutup saluran perlawanan dari kelompok penekan, sementara akomodasi ditujukan kepada kelompok yang dapat diajak bernegosiasi untuk menciptakan aliansi-aliansi. Istilah ini dikenal dalam terminologi politik modern dengan istilah manajemen konflik belah bambu (stick and carrot policy). Sebagaimana tulisnya :
A class dominant in two ways, i.e. ‘leading and dominant’.
It leads the classes which are its allies, and dominates those which are its enemies.
Satu kelompok mendominasi dalam dua cara. “Kepemimpinan dan dominansi”
Ia menjadi pimpinan kelompok yang dianggap sekutu,
dan mendominasi kepada mereka yang dianggap musuh.[1]
Hegemoni cenderung bekerja dengan cara mencari dukungan yang legitimet dan legal dari kelompok mayoritas yang terdominasi melalui proses-proses yang “demokratis”. Penciptaan opini publik, pemilihan umum, parlemen, media massa, dan organ intelektual adalah bentuk-bentuk saluran untuk melegalisasi proses hegemoni melalui cara-cara yang “sah”. Dalam format seperti itu proses penghegemonian dari group dominan akan menampakkan wajah yang sangat adoptif terhadap segala isu-isu yang di arahkan kepada kekuasaan, dengan maksud menunjukkan bahwa kekuasaan mereka sangat ‘demokratis’. Kekuasaan tidak berwujud tirani melainkan mengakomodir segala
Dimana legitimasi diperoleh melalui penciptaan opini, parlemen, dan legalisasi oleh kelompok inteletual-moral. Sebagaimana pembagiannya di atas, Gramsci menambahkan pokok intelektual-moral sebagai manifestasi kelompok supremasi. setiap orang dalam pandangannya tidak dapat tidak akan selalu mempraktikkan intelektualitas dalam setiap aktivitasnya.
: that the supremacy of a social group manifest itself in two ways, as dominantion
and as intellectual and moral leadership…dominates antagonistic groups,
which it tends to liquidate, or to subjugate perhaps even by force.
…bahwa kelas utama dari kelompok sosial mewujudkan dirinya dalam dua cara,
dominasi, dan sebagai acuan kepemimpinan intelektual dan moral…
dominasi terhadap kelompok perlawanan, ditujukan untuk membekukan,
atau memilah dengan paksaan jika diperlukan[2].
Oleh karenanya setiap orang adalah intelektual organis bagi masyarakat dalam pandangan Gramsci, dengan sendirinya tidak ada intelektual yang dapat diam menghadapi realitas yang terjadi. Permasalahannya adalah dilema ketika intelektual harus memilih untuk turut serta dalam praktik peguasaan modal, politik, dan sosial atas kelompok minoritas dominan atau turut kepentingan kelompok mayoritas terdominasi. Sedemikian penting fungsi intelektual Gramsci mencatat;
Critical self-consciousness means, historically and politicaly, the creation of an elite of intellectuals.
A human mass does not distinguish itself, does not become independent in its own right
without in the widest sosial sense, organising itself: and there is no organisation without intellectuals,
that is without organisers and leaders…But the process of creating intellectuals is long and difficult,
full of contradictions, advances and retreats, dispersal and regrouping,
in which the loyalty of the masses is often sorely tried.
Kesadaran kritis bermakna, bahwa masalah sejarah dan politik, adalah masalah membentuk kelompok elit intelektual.
Suatu kelompok massa tidak dapat memilah dirinya untuk menjadi bebas tanpa kepekaan sosial yang luas untuk mengorganisasi diri, dan tidak ada organisasi tanpa kaum intelektual, organisator, serta pemimpin…Tetapi proses membentuk intelektual membutuhkan waktu panjang dan sulit, penuh kontradiksi, menantang atau berdamai, memecah atau menyatukan. Dimana (penciptaan) loyalitas massa sering meminta keseriusan yang tinggi.[3]
Dengan demikian dalam pandangan Gramsci, hegemoni bukanlah praktik yang tidak dapat diciptakan kembali. Hegemoni tidak dapat dipandang sebagai prosedur pengontrolan massa dengan tujuan kekuasaan belaka. Ia dapat dilakukan untuk menarik dukungan dan menciptakan pengikut yang loyal dalam menjabarkan gagasan besar, moral dan intelektual dengan tujuan yang bermanfaat kepada masyarakat umum (kelompok yang dihegemoni). Sejujurnya bagi Gramsci praktik relasi kuasa akan selalu bertujuan mengambil alih kepemimpinan moral dan intelektual dengan segala cara dan kesulitan yang mendalam. Untuk itu menurutnya intelektualitas akan menjadi subjek yang penting dalam perubahan sosial. Dimana untuk melakukan perubahan sosial, masyarakat awam meniscayakan kebutuhannya akan sosok intelektual yang dapat terlibat di dalam perubahan itu sendiri. Ia menyebut intelektual yang mau bekerja untuk suatu perubahan sosial dengan istilah intelektual organik.
Di lain waktu peran pembentukan intelektual organis sendiri akan menjadi dilema dan bagian dari proses hegemoni yang selalu menampilkan sisi tautologi (bertolak belakang). Di satu sisi intelektual adalah harapan masyarakat untuk perubahan, di sisi lain ia dapat berfungsi sebagai alat untuk mendominasi kekuasaan. Adalah Louis Althuser, Julian Benda, Michele Foucault, dan Edward Said yang mengembangkan kedudukan intelektual dan ilmu pengetahuan sebagai aparatur kekuasaan dalam bentuk teori-teori yang lebih rinci.
Ideological State Aparatus
Louis Althuser, adalah orang yang menjabarkan pandangan Marx dalam analisa kritis. Serupa dengan Gramsci, menurutnya teori dialektika historis dalam wilayah sosial dalam thesis Marx, memiliki kekurangan-kekurangan. Wilayah yang dikritisinya adalah, bahwa telah menjadi kebutuhan jika intelektual yang nota bene berasal dari kelompok menengah untuk mengorganisir pergerakan kelompok bawah (proletar) dalam menghadapi kelompok atas (borjuis). Posisi kelas menengah ini terabaikan dalam teori Marx kalau tidak boleh dikatakan hanya disinggung sedikit. Kemampuan kelompok ini mereorganisasi diri dalam bentuk kelompok-kelompok kepentingan adalah adaptasi terhadap pola represi dan hegemoni yang dihadirkan kelas dominan.
Serupa dengan pandangan Althuser, adalah pendapat Dominic Strinati, ilmuwan sosial yang membahas Gramsci, bahwa kenyataan tidak munculnya kelas-kelas perlawanan adalah, kenyataan bahwa tindakan represif dari kelas dominan tidak mengalami perlawanan frontal melainkan masyarakat terdominasi memiliki alasan sendiri untuk menerima kondisi didominasi. Singkatnya masyarakat awam dan sekelompok intelektual menganggap bahwa hegemoni adalah kenyataan hidup, untuk itu dianggap saja sebagai suratan nasib.
…Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values and leadership of the dominant group
not because they are physically or mentally induced to do so, nor because they are ideologically indoctrinated,
but because they have reason of their own.
Teori dari Gramsci menyebutkan bahwa kelompok subordinat menerima ide-ide, nilai-nilai dan kepemimpinan dari kelompok dominan bukan karena alasan fisik atau mental belaka, sehingga mereka untuk terpaksa menerima hal demikian, tidak juga karena alasan doktrin ideologis, namun karena mereka memiliki alasannya sendiri.[4]
Disebabkan kurangnya kesadaran awam akan perubahan maka dalam transformasi sosial, kelompok menengah, kaum terpelajar, dan intelektual memainkan peran penting dalam struktur kekuasaan di wilayah publik. Adalah terlalu naif mengharapkan persoalan kelas diselesaikan oleh kelompok terdominasi tanpa adanya keterlibatan kelompok intelektual dan kaum agamawan (moralis). Pentingnya peran kelompok ini menjadi alasan bagi kelompok dominan (negara dan kapital) untuk mengambil alih kepemimpinan dan mengusai kelompok moralis-intelektual dalam kontrol gugus kekuasaan mereka. Gugus ini berfungsi menjinakkan intelektual dan memfungsikannya sebagai bumper kekuasaan dominan dalam menghadapi kelompok-kelompok perlawanan.
Gugus ini oleh Althusser disebutnya dengan istilah Ideological State Apparatus/ISA (aparatur ideologis negara) istilah yang dikembangkannya dari gugus aparatur negara (State Apparatus/SA) dari Karl Marx. Dalam teorinya Marx membagi praktik hegemoni apartur ini kepada gugus
· Aparatur Pemerintah
· Aparatur Administratif
· Polisi
· Tentara, dan Pengadilan
· Pejabat aparatur negara.
Kesemuanya menurut Marx berfungsi sebagai Repressive State Apparatus, aparatus penekan. Pada praktiknya elemen negara ini akan berlaku represif dalam rangka menjalankan prosedur pengontrolan terhadap kelompok-kelompok terdominasi. Lebih jauh, dalam gagasan teorinya, Louis Althusser menambahkannya dengan ;
· Aparatur Agama,
· Aparatur Pendidikan,
· Aparatur Keluarga,
· Aparatur Hukum
· Aparatur Politik
· Aparatur Perdagangan
· Aparatur Departemen Penerangan
· Aparatur Kebudayaan
Gugus yang ditawarkan Althusser dikemudian hari menjadi bagian penting dari terminologi hegemoni modern yang lebih kompleks. Bahwa kenyataannya pengadaan lembaga-lembaga ini difungsikan untuk membagi, memecah, atau mengakomodasi kelompok-kelompok intelektual dalam disiplin-disiplin parsial kelompok kepentingan dan mengalihkannya dari ide-ide keadilan, kesetaraan, kesamaan, universal yang dibutuhkan masyarakat. Aparatur penekan ini juga berfungsi sebagai alat kontrol kepada interest groups dalam masyarakat. Fungsinya tidak sekedar represif belaka tetapi lebih kepada penciptaan akomodasi imaginer (khayal) yang menghubungkan kepentingan tiap individu dalam masyarakat untuk berperan serta menunjukkan identitas dan aktivitas mereka untuk ”turut” serta “membangun” bangsa.
Keberadaan institusi Ikatan Dokter Indonesia, ICMI, ‘Pemuda Kalimantan’, ‘Sulawesi’, ‘Persatuan Mahasiswa Sumatera’, Anak Muda Islam, Kristen, atau ‘Aliansi Warung Tegal (cnth)’ adalah wujud dari pemilahan kekuatan penekan dengan cara manipulatif dalam format-format kecil agar lebih mudah dikontrol dan berlaku parsial dalam perjuangannya. Sadar atau tidak bentuk-bentuk pengecilan format ini dengan sendirinya mengecilkan aktivitas dan wilayah perlawanan. Lebih jauh kelompok-kelompok ini hanya dijalankan dengan pandangan sentimentil kesukuan, keprofesian, keagamaan, keilmuan dll, dan bukan lagi sebuah gerakan ideologis yang universal maupun praktis perlawanan terhadap hegemoni sosial.
Said dan Hegemoni Ruang Hidup
Teori dari Gramsci lebih jauh dikembangkan oleh Edward Said kepada hegemoni dalam wilayah teritorial dan kebudayaan, dimana dikemudian hari teorinya sangat berpengaruh dalam studi-studi budaya. Agak berbeda dengan Althusser dan Gramsci, hegemoni dalam pandangan Said, bukanlah sekedar praktek dominasi kelas superstruktur terhadap basis atau borjuis terhadap proletar. Said mengembangkan praktek hegemoni ini dalam lingkup kawasan; antara barat dan timur, antara para orientalis dan oksidentalis, antara negara kaya dan miskin, antara budaya barat dan budaya timur, antara kolonialis dan koloni.
Said menerangkan jika hegemoni budaya barat terhadap timur bekerja dengan cara mereduksi tanda-tanda budaya di timur hanya sebatas tanda-tanda masa lampau, primitif, eksotik dan tak beradab. karena itu dunia barat merasa mimiliki legitimasi untuk melakukan imprealisme dan menjajah negri-negri timur dan selatan. Bagi Said di mana barat wilayah terhegemoni (koloni/negri jajahan) hanya boleh difahami sebagai tanda opposisional/ kebalikan dari kelas menghegemoni (barat). Masyarakat koloni dan ruang tinggalnya merupakan refresentasi dan ruang panggung. Dimana dalam wacana kolonialisme, barat berhak untuk menentukan skenario mengatur harga mengangkat pemerintah boneka dan kontrol budaya terhadap elemen-elemen apapun yang datang dari timur.
Pandangan Said yang menampilkan kenyataan bahwa hegemoni dilakukan pula lintas negara sangat dipengaruhi oleh teori episteme dari Michele Foucault, tentang sistem pendisiplinan tubuh. Tubuh (badan) dalam pandangan Foucault dikembangkan dikembangkan Said menjadi tubuh atau negara.
Ruang dan Hegemoni atas Negara
Henry Levebre, Filsuf Prancis pascamodern menyebut hegemoni dalam bentuk yang lebih detail lagi, bahwa hegemoni adalah proses penguasaan ruang hidup (lebensraum) oleh kekuatan dominan, dengan tujuan menciptakan kelenggengan. Hegemoni dalam ruang ditujukan untuk melanggengkan sistem kekuasaan yang lebih maju dari sekedar masalah pemerintahan. Hegemoni dalam ruang publik adalah politik penguasaan ruang konkrit itu sendiri. Ruang hidup tidak mungkin bebas nilai, ia merupakan medan dialog kekuatan-kekuatan dominan. Dimana penguasaan ruang dilakukan dengan menciptakan tanda-tanda (simbol) keberhasilan sebuah ideologi dalam wujud bangunan megah, pertanian, dan pabrik-pabrik adalah wujud keberhasilan suatu ideologi terhadap ideologi lainnya. Penguasaan ruang sebagai media dikemudian waktu akan menjadi medan pertarungan penciptaan opini dan legitimasi publik.
Lebih jauh ia menyebutkan bahwa hegemoni tidak lagi menjadi dominasi negara, melainkan konsentrasi modal-modal besar untuk menguasai produk akhir[5] berupa barang maupun informasi. Dengan kata lain hegemoni bergerak ke arah penguasaan regulasi, tarif, opini media, dan tentu saja ditujukan untuk penguasaan pasar dengan mutlak.
Kembangan teorinya ini akan membantu studi marketing, mitos, studi budaya, dan tentu saja meneropong pola hegemoni yang lebih-lebih kompleks lagi, yaitu hegemoni liberal, dan globalalisasi demokrasi dalam rangka penciptaan pasar bebas. Lefevbre mengantarkan kita kepada kenyataan jika hegemoni mulai melintasi batas-batas teritorial negara yang dimulai dengan hegemoni perdagangan dan tarif. Privatisasi adalah bukti hegemoni via lembaga eknomi inter-negara seperti IMF untuk memaksa secara halus pemerintah agar berpihak kepada pemodal (asing). Ketika hegemoni keberpihakan terhadap modal kuat seperti ini terus terjadi, seperti keniscayaan menghadapkan negara (state) denga kelompok mayoritas (rakyat) adalah kenyataan.
Kenyataan inilah yang memaksa state/negara sebagai kelompok dominan tidak lagi menganggap hegemoni ditujukan sebagai proses pendisiplinan maupun pengontrolan massa, namun lebih pada kondisi bahwa negara pun sebenarnya Peraturan yang melarang demo-demo mahasiswa, buruh, dan petani di ruang-ruang publik dengan alasan keamanan, kemacetan, RUU pembatasan penyiaran pers, pembatasan warga negara untuk menjadi Presiden dengan alasan kesehatan, adalah pengekangan kebebasan di ruang demokrasi. Seperti yang dibayangkan Lefebvre, gejala ini adalah awal dari keniscayaan berhadapannya state dengan masyarakat dalam kerangka melayani hegemoni asing.
Hegemoni dan Disiplin Tubuh
Di tangan Michele Foucault, definisi hegemoni dikembangkan lebih jauh dan ilmiah. Filsuf postmodernisme Prancis ini memperkenalkan istilah baru dalam termonilogi hegemoni. Ia menyebut bahwa negara harus menjadi penjara ruang untuk mendisiplinkan tubuh. Baginya kekuasaan ada dimana-mana, setiap unsur dalam RT,kekuasaan tidak mungkin dihilangkan. Hegemoni menurutnya
Kekuasaan ada dimana-mana, setiap unsur kuasa dalam kehidupan tidak mungkin dihilangkan. Kekuasaan harus ditujuakan untuk ditujukan mendisiplinkan masyarakat, oleh karenanya setiap orang harus disiplinkan terlebih dahulu sebelum mendisiplinkan masyarakat.
Ia menyebut pula tentang panopticon, yaitu pola-pola pengontrolan negara/wilayah yang ideal. Ide yang diambilnya dari konsep penjara Bantam (desain penjara rekaan arsitek Jeremy Bentam) adalah media untuk pendisiplinan masyarakat. Menurutnya untuk dapat mendisiplinkan masyarakat, negara harus mengontrol ruang hidup masyarakat. Hegemoni model ini telah diterapkan oleh sistem kapital untuk mengkonsep mall-mall, supermarket, dll dimana orang orang dihegemoni dengan kesenangan untuk berputar-putar dan disiplinkan untuk berbelanja. Dugem (dunia gemerlap) di sepanjang jalan di kota-kota besar dapat dikatagorikan dalam jenis pendisiplinan ruang, dimana anak-anak muda didisiplinkan dari tema-tema substansial/inti kepada tema-tema permukaan, dari pada pusing belajar lebih baik joged. Lebih jauh hegemoni ini merasuk ke dalam ruang-ruang keluarga, dalam bentuk pengontrolan melalui pesawat televisi, telepon genggam, dan rekening kartu kredit. Hampir seluruhnya dalam bentuk hegemoni yang bersifat seduksi (menyenangkan).
Pendapat baru inilah yang membuat Gilles Delueze, satu lagi Filsuf Prancis mutakhir, mengetujui teori pendisiplinan tubuh dari Foucault, bahwa kontrol bergerak dari tangan negara (state) ke tangan individu itu sendiri. Hegemoni mutakhir inilah yang menjadi ciri dari model kekuasaan sekarang. Sadar atau tidak milyaran uang dikeluarkan oleh dividu (massa) untuk membuat operator telepon selular menjadi lebih kaya, dengan tarif yang semakin mahal, sementara sebenarnya hak berkomunikasi adalah harkat hidup orang banyak, untuk itu ia harus selalu disubsidi dan dibuat semakin murah. Demikian pula dengan siaran langsung sepak bola asing, yang memberi devisa hak tayang ratusan milyar per tahunnya kepada liga-liga sepakbola di eropa, dan membuat pembinaan persepakbolaan lokal kekurangan perhatian. Juga kaum wanita yang memaksakan tumitnya diganjal sepatu hak tinggi, dan membiarkan dirinya menghegemoni tubuhnya sendiri untuk memperoleh rasa sakit agar dapat dianggap cantik.
Adalah Jean Baudrillard yang melontarkan teori kritis bagaimana hegemoni bekerja di zaman sekarang. Apa yang diungkapkannya adalah kenyataan bahwa kekuasaan sebenarnya bekerja dengan cara yang liat (flubber). Teritorial yang diciptakan tidak lagi ruang hidup (lebensraum), namun ruang-ruang simulasi dan rekaan. Televisi, iklan, hiburan adalah ruang-ruang yang memberikan kesempatan hegemoni melampaui batas-batas demarkasi, negara, budaya, ruang tamu, bahkan ruang tidur kita.
Pada awalnya orang memangan terhegemoni oleh kekuasaan kapital dan politik. Lebih jauh hegemoni bekerja pada ruang-ruang abstrak, simulacrum (khayalan). Ruang direduksi hanya sebatas media prosesi simulasi kekuatan-kekuatan modal dalam tanda-tanda produk hasil ekonomi lanjut (late capitalism). Dalam bentuk janji-janji kekayaan, kecantikan, sukses, dinamis, terbuka, akses hidup yang lebih baik, melalui kartu kredit, pemutih, bimbingan belajar, shampo, dan pengurus tubuh yang membuat anda tampil indah menarik. Dengan satu tujuan mengalihkan orang dari realitas kaya, cantik, pandai, dan indah itu sendiri. Manusia menghabiskan waktunya untuk menikmati hiburan-hiburan virtual (maya) yang menjanjikan pada diri mereka realitas palsu tapi menyenangkan. Istilah yang berkembang untuk gejala penciptaan realitas simulasi ini dikenal akrab dengan nama hyperreality. Meskipun hyperreality sendiri sebenarnya realitas juga.
Inilah dilema dimana ketika manusia berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni-hegeoni material dan ideologi, tanpa sadar manusia melahirkan hegemoni dalam bentuk lain bagi dirinya sendiri. Pada satu titik, hegemoni yang bekerja ini tidak lagi dilakukan oleh negara, melainkan oleh suatu sistem pengontrolan mandiri. Dalam rezim material yang lebih modern, kekuasaan sepenuhnya diberikan kepada kelas-kelas dominan, yaitu mayoritas rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk menentukan mulai dari siapa yang akan menang dalam kontes pemilihan presiden melalui voting televisi hingga siapa yang akan tereliminasi dari Kontes Dangdut Indonesia (KDI) di TPI.
Dalam kuasa-kuasa hiburan dan tontonan masyarakat umum (majority) seolah memperoleh hak tertinggi mereka, dimana mereka secara tidak langsung diwajibkan menghabiskan sejumlah pulsa telepon genggam untuk menjawab dan berpartisipasi dalam tema-tema demokrasi kapital. Kelompok mayoritas ini memiliki kekuasaan hampir tak terbatas untuk memberikan pengawasan terhadap idola-idola tontonan, menyimak dan memeriksa isi kamar, dompet hingga problematika rumah tangga selebritis, bahkan mampu mengontrol tindak-tanduk mereka dalam ragam tayangan gosip. Sehingga dapat dikatakan jika pada kondisi ini teori-teori kekuasaan atas dari Marx dengan sendirinya mendapatkan kritikan tajam. Dalam masyarakat terkontrol oleh tontonan (society of spectakles) setiap orang memiliki kekuasaan, kekuasaannya ada di tangannya yaitu remote control. Khalayak pemirsa berhak menentukan pilihan-pilihan hiburan yang mereka inginkan, dengan satu tujuan didisiplinkan untuk jangan pergi kemana-mana setelah iklan berikut.
Dalam medan promiskuitas yang menjanjikan tadi maka ragam materi hiburan apapun dapat yang dimasukkan melalui media-media dalam rangka hegemoni pengontrolan, baik musik dangdut, lagu pop, ceramah agama, kuis ramadhan, temu artis, hingga dzikir taubat nasional. Tujuannya adalah mengalihkan perhatian masyarakat dari kondisi hegemoni dan keterpurukan sosial lainnya. Mengutip Gilles Delueze, dalam manipulasi yang lebih sistematis dan generik dari masyarakat yang terkontrol (society of control) oleh media massa, sebenarnya tidak perlu lagi dipertanyakan, mengenai rezim manakah yang paling toleran. Sehingga lengkaplah praktik hegemoni secara keseluruhan. (MCB)
[1] Antonio Gramsci : Selection from Prison Notebooks : Quinttin Hoare dan Geoffrei : Lawrence&Wishart, London 1971. hlm. 80
[2] Idem hlm. 57.
[3] Idem hlm 334
[4] Strinati, Dominic. An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London. 1995. hlm 166.
[5] Bedakan dengan Marx, Gramsci yang menganggap bahwa hegemoni adalah masalah prosedural pendisiplinan. Bagi Lefevbre kekuatan kapital tidak lagi berkonsentrasi di wilayah ini, karena lebih mementingkan jalur distribusi dan produk akhir itu sendiri.
1 Komentar:
thanks all lot, dear. it help me done my paper
i'm ECH.nice to meet u
click it, LIKE it, share it please^^thank you
http://toko-lomba.blogspot.com/2012/10/Sehat-Alami-Produk-Indonesia.html
Oleh toko-lomba, Pada 25 Oktober 2012 pukul 01.30
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda